(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Kebebasan warga negara tercermin pada pemenuhan hak-haknya, berikut pengembaliannya. Namun, telah lama pengabaian hak-hak warga negara terpampang tanpa malu-malu dalam pola relasi negara dan rakyat hampir di semua aspek. Pengabaian hak oleh negara memang tidak bisa di pandang hanya sebagai terminologi dan wilayah politik, sebagaimana dalam kegiatan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, serta musyawarah rencana pembanguan daerah. Pengabaian justru secara kentara terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam lokus administratif dan manajerial yang kerap kali dilakukan oleh aparatur negara yang notabene merupakan tangan pemerintah. Namua, melalui partisifasi politik yang tidak berkualitaslah di kemudian hari maladministasi dan kelalaian manajerial itu terjadi.
Pola-pola
Jika berbagai kasus yang ada ditelaah, pengabaian hak-hak ini memiliki pola yang bervariasi antara pola berhadapan dimuka (face of face model), pola kamuflase (camouflase model), serta pola parsial (partial model). Perbedaan ini secara signifikan di identifikasi berdasarkan corak perlakuan pemberi layanan terhadap penerimanya.
Perilaku pengabaian diatas merupakan hambatan dalam pencapaian konsolidasi dimensi politik. Jika kita sepakat bahwa kegiatan demokrasi prosedural merupakan langkah sementara untuk kemudian mencapai demokrasi substansial-suatu kondisi hak-hak politik warga negara terlindungi dan kesejahteraan diorientasikan pada kesejahteraan mereka, perbaikan demokrasi prosedural menjadi mutlak untuk diwujudkan. Sebuah keadaan yang demokrasi terkonsolidasi ditunjukan dari kredibilitas demokrasipada benak sebagian besar warganegara sebagai satu jalan utama bagi perbaikan sekaligus pengembangan kehidupan politik mereka hingga akhirnya berimplikasi pada taraf ekonominya.
Cacat
Kecacatan administratif terdapat pada semua pola diatas. Tanpa bermaksud mengabaikan aspek lain, merupakan langkah jitu untuk mengambil bagian dalam identifikasi akar masalah dan mengambil jalan keluar menurut aspek yang mendominasinya. Pengenaan serangkaian biaya sekolah, sebagai contoh pola pengabaian berhadapan dimuka, marak terjadi ketika sejumlah kondisi yang menguntungkannya terjadi: liberalisasi sektor pendidikan, bahkan sebelum RUU Badan Hukum Pendidikan disahkan, menjadi tren penyelenggaraan pendidikan dasar,menengah dan tinggi; pengawasan lembaga ombudsman yang lemah; manipulasi curang atas keterlibatan orang tua siswa dalam lembaga komite sekolah; kritisme siswa dan orang tua yang rendah; hingga kolusi antara pengelola sekolah dengan oknum pemerintah dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Dapat dilihat disini bahwa penyimpangan terjadi ketika terdapat celah-celah kelembagaan yang kemudian dimanfaatkan rent-seeker dan itu kental kecacatan administratifnya.
Penelitian lebih lanjut mengenai ketiga pola pengabaian hak-hak warga negara akan sampai pada kesimpulan bahwa ketiganya berada pada satu garis kontinum tingkat kepedulian warga negara itu sendiri. Pola pengabaian berhadapan dimuka terjadi ketika warga negara sebagai penerima jasa tidak menyadari atau tidak mengerti hak-hak yang dimilikinya, ketiadaan saluran pengaduan yang memadai dan responsif dengan mekanisme umpan balik, bahkan ketika iklim penyelenggaraan negara diliputi rezim diktator-otoriter. Beranjak pada tahap kedua, pola pengabaian kamuflase terjadi ketika warga negara telah mencapai kondisi lebih baik dengan mengetahui dan memahami hak-haknya tetapi tidak atau kurang diimbangi dengan saluran pengaduan yang memahami. Kecukupan kapasitas saluran pengaduan itu diukur dari konsekuensi tindak lanjut berupa kapasitas rentang waktu tindak lanjut, pemberian tanggapan/jawaban, tindakan solutif nyata komplain yang masuk sebagai kompensasi atau pemulihan hak. Tahap terakhir tercapai ketika sebagian warga negara telah sangat menyadari dan memahami hak-haknya sekailgus menjadikan gugatan dan komplain sebagai jalan perlindungan hak-haknya tersebut. Satu-satunya reaksi rezim atas fenomena ini adalah memberikan jawaban sementara berupa lembaga dengan fungsi terfokus tetapi miskin kewenangan independen untuk memulihkan situasi. Namun, jika persoalan telah akut dan opini telah mengarah pada identifikasi musuh bersama, juga alasan lain bermuatan keuntungan strategis, penguatan mekanisme dan pembentuka lembaga superpower pun tak pelak dilaksanakan. Pada prakteknya disinilah perbedaan antara KON dan KPK. KON yang lebih awal dibentuk lebih banyak didasarkan atas upaya rezim memberikan jawaban pemuas atas tuntutan perbaikan perbaikan publik dibarengi dengan fokus elit dan massa yang masih belum tertuju pada aspek pelayanan publik yang notabene syarat nuansa administratifnya. Adapun agenda pemberantasan korupsi, meskipun melahirkan KPK telat setelah KON, telah lama digaungkan dan menemukan momentum spektakulernya dalam pergantian rezim pada tahun 1998. Selain berkonstribusi atas pemulihan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menjadi bahan “jualan” kampanye partai politik, pemberantasan korupsi cenderung mengembailkan uang negara.
Garis kontinum pola pengabaian tersebut menyiratkan satu faktor penting bagi pengembaian dan perlindungan hak warga negara, yakni modal sosial berupa masyarakat yang terdidik dengan baik dan memiliki akses informasi yang memadai. Inilah akar masalah dalam perlindungan hak warga negaradan pencapaian konsolidasi demokrasi. Dengan administrasi sebagai aspek dominan dalam persoalan ini, revitalisasinya bisa menjadi pengungkit (leverage) pemecahan masalah.
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terima kasih. Menjadi masukan bagi kami yang tengah menyusun naskah akademik sebagai landasan Perda tentang kesehatan ibu dan anak.
BalasHapus